SELAMAT IDUL FITRI 1431 H, MOHON MAAF LAHIR & BATHIN
Pada
hari yang mulia ini, kita sama-sama tengah menyelenggarakan suatu
perayaan besar ummat Islam di seluruh dunia, yaitu perayaan idul fitri
atau yang biasa kita kenal dengan hari raya lebaran. Satu bulan penuh
kita digembleng oleh Allah swt dalam suatu training ruhani yang disebut
puasa, maka kita berdoa kepada Allah swt, semoga puasa yang telah kita
jalankan beberapa hari yang lalu, dapat mengantarkan kita sebagai
pemenang dan hamba-hamba pilihan dengan predikat al-muttaqun atau
orang-orang yang bertaqwa. Sebagaimana yang disinggung dalam firman
Allah swt.
“Wahai
orang-orang yang berimanan telah diwajibkan kepadamu berpuasa,
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang terdahulu sebelum kamu, agar
kamu sekalian bertaqwa” (al-Baqara:183).
Yang
disebut dengan orang-orang bertaqwa setelah ia menjalankan ibadah puasa
adalah, orang-orang yang senantiasa dapat mengontrol dirinya untuk
mampu berada pada jalan Allah swt baik atas setiap apa yang Allah
anjurkan atau Ia larang. Ia dapat menundukkan hawa nafsunya setelah
bulan puasa, untuk selalu melakukan apa yang Allah perintahkan, seperti
menjalankan shalat lima waktu, bersedekah kepada fakir miskin,
menyambung tali silaturrahmi, memaafkan kesalahan orang lain, bekerja
dengan penuh amanat dan lain-lain. Di samping itu, dengan takwa ini, ia
dapat mengontrol jiwannya untuk tidak sedikitpun terdetik dalam hatinya
melakukan perbuatan-perbuatan yang akan mengundang murka dan laknat
Allah swt, seperti: menebarkan kebencian kepada sesama muslim, berlaku
curang dalam setiap kebijakan dan perlakuan, berbohong, berkhianat,
tidak amanah dalam bekerja, menahan harta dan hak orang lain secara
tidak adil dan lain-lain. Jika seseorang telah mampu mengendalikan diri
untuk selalu memposisikan jiwanya untuk senantiasa taat akan perintah
Allah dan menjauhi larangan Allah swt, itulah sesungguhnya orang-orang
yang telah keluar dari bulan ramadhan dengan predikat al-muttaqun atau
orang yang bertaqwa sebagaimana yang dipesankan oleh ayat al-Quran tadi.
Tentunya
dalam memahami puasa yang baru saja kita lalui, ada sesuatu yang harus
kita kedepankan, yaitu niat kita berpuasa didasarkan atas pendekatan
keimanan. Dengan dasar seperti ini, kita tentu melakukan puasa, lebih
didasarkan pada mengikuti perintah Allah SWT, bukan karena
alasan-alasan lain. Adapun kalau ada yang mengatakan puasa itu dapat
menyehatkan badan dan jiwa, itu adalah hikmah atau manfaat dari
perilaku puasa yang dilakukannya. Sebab belakangan, secara medis, puasa
itu diketahui dapat memberikan kesehatan jiwa, di samping juga
jasmaninya. Paling tidak, hal ini diungkap dalam buku karya Dr. Alan
Cott, yang berjudul “Fasting is The Way of Life”
Dalam
buku tersebut, Cott menyebutkan bahwa gangguan jiwa yang parah dapat
disembuhkan dengan berpuasa. Penelitian yang dilakukan Alan Cott
terhadap pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Grace Square New York juga
menemukan hasil yang sejalan, pasien sakit jiwa ternyata bisa sembuh
dengan terapi puasa.
Atas
dasar inilah maka jika kita kembalikan kepada Al-Qur’an, tepatnya ayat
yang saya sebutkan di atas, sesungguhnya kalimat “Kutiba Alaikum
as-Shiyam” yang artinya “Telah diwajibkan atas kamu berpuasa”, disana
Allah swt tidak menyebutkan subyek siapa yang mewajibkan puasa itu,
sehingga kalimat tersebut dibiarkan menjadi kalimat pasif (diwajibkan),
seolah-olah Allah Swt, hendak mengatakan, bahwa sekalipun tidak Allah
wajibkan puasa kepada manusia, niscaya manusia sendiri lah yang akan
mewajibkan dirinya untuk berpuasa, oleh sebab di dalam puasa tersebut
terdapat manfaat dan hasiat yang amat luar biasa bagi kesehatan jiwa
dan raga kita.
Setelah selesai berpuasa, sekarang tibalah saatnya kita memasuki hari raya idul fitri. Suatu hari raya yang dimana kita dianjurkan oleh agama kita untuk meluapkan rasa kebahagiaan dan kegembiraan atas kemenangan jiwa kita memerangi hawa nafsu selama satu bulan penuh. Idul fitri yang berarti “kembali kepada fitrah”, yaitu fitrah awal kemanusiaan kita, yang tidak memiliki dosa dan kesalahan, disebabkan pada hari ini pula, perasaan hati kita senantiasa diliputi untuk selalu meminta maaf dan sekaligus memaafkan atas segala kesalahan yang diperbuat oleh diri kita juga oleh orang lain. Sehingga hari raya idul fitri ini, benar-benar menjadi wasilah bagi menyebarnya rasa cinta dan kasih sayang bagi sesama muslim di seluruh dunia. Tidak ada lagi kata marah, tidak ada lagi kata benci, tidak ada lagi kata emosi, namun pada hari ini, yang ada adalah kata rindu, yang ada ialah kata cinta, dan yang ada ialah kata maaf. Demikianlah dahsyatnya pengaruh hari raya idul fitri ini dalam menciptakan keharmonisan hubungan antar sesama ummat Islam ini.
Di
samping dengan adanya tradisi saling memaafkan ini, pada hari idul
fitri ini pula kita memiliki budaya berbagi kebahagiaan dengan saling
memberi sebagian anugerah harta yang kita miliki. Yaitu budaya
mengundang atau mengahadiri undangan disisipi dengan menyediakan
hidangan ala kadarnya sebagai rasa syukur atas nikmat yang Allah
berikan kepada kita. Bahkan pada hari ini juga, merupakan waktu yang
paling dianjurkan bagi mereka yang diberikan kelebihan harta untuk
mengeluarkan zakat fitrahnya kepada para fakir miskin. Maka idul fitri
sesungguhnya adalah saat yang paling tepat bagi kita untuk meluapkan
kebahagiaan kita, melalui cara membagi kebahagiaan tersebut kepada
mereka yang kurang beruntung. Demikianlah makna idul fitri yang
sesungguhnya, idul fitri tidak boleh hanya dirasakan hanya bagi mereka
yang memiliki anugerah keberuntungan secara materil saja, akan tetapi
idul fitri juga harus dapat dirasakan oleh seluruh ummat Islam yang
lainnya untuk sama-sama merasakan keberkahan hari kemenangan ini.
Sebagaimana halnya pesan sosial puasa, yang tidak lain adalah agar kita
pun yang berpuasa benar-benar memahami dan merasakan kepayahan orang
yang fakir dan miskin yang terbiasa merasakan sakitnya lapar dan
dahaga. Sehingga apapun yang kita lakukan, sekalipun ia berdimensi
ibadah, akan tetapi ia tidak hanya dirasakan pada aspek individual
saja, melainkan berdampak juga pada aspek sosialnya.
Maka
dari itu, banyak sekali ajaran Islam yang menitikberatkan kepada kita
untuk tidak melulu terpokus kepada penciptaan kesalehan pribadi atau
individual, melainkan agar kesalehan individual ini juga memiliki
dampak terhadap penciptaan kesalehan sosial antar sesama kita. Dari
sini, sesunggunya agama Islam, bukanlah agama yang menginginkan agar
ummatnya menjadi ummat yang egois, mementingkan diri sendiri, tidak
memperdulikan orang lain. Namun agama Islam justeru senantiasa
mengkaitkan kesuksesan individu manusia sebagai hamba Allah swt, dengan
kesuksesannya sebagai mahluk sosial. Dengan menyadari bahwa ibadah
tidak terbatas pada amalan-amalan ritual, maka seseorang selalu
mempergunakan hati dan pikirannya dalam pergaulan di dunia ini. Ia
tidak akan berbuat dzalim terhadap sesamanya, baik kezaliman fisik,
psikis ataupun kezaliman dengan cara merampas hak orang lain. Ibadah
ritual sebanyak apapun tidak akan berarti apa-apa jika orang yang
melakukannya tidak mampu menjaga dirinya dengan baik tindakan-tindakan
sosialnya.
Hal ini berarti, apa gunanya kita sering sholat, jika ternyata masih banyak Saudara kita yang sering terluka dengan ucapan kita. Apa gunanya kita selalu berpuasa, jika ternyata masih banyak Saudara kita yang tidak nyaman dengan perbuatan dan sikap kita yang angkuh. Apa gunanya kita sering berhaji, jika masih banyak Saudara bahkan tetangga kita yang menahan sakit karena lapar dan kedinginan akibat hidup beratapkan kolong jembatan.
Hal ini berarti, apa gunanya kita sering sholat, jika ternyata masih banyak Saudara kita yang sering terluka dengan ucapan kita. Apa gunanya kita selalu berpuasa, jika ternyata masih banyak Saudara kita yang tidak nyaman dengan perbuatan dan sikap kita yang angkuh. Apa gunanya kita sering berhaji, jika masih banyak Saudara bahkan tetangga kita yang menahan sakit karena lapar dan kedinginan akibat hidup beratapkan kolong jembatan.
Selain
dari pada hal yang di atas, salah satu yang telah menjadi tradisi
sekaligus diperbolehkan oleh ajaran agama kita, yaitu, pada saat idul
fitri ini kita dapat mengungkapkan kebahagiaan dengan cara-cara apapun
selama ia sesuai dengan tuntunan syariat agama kita. Seperti merayakan
idul fitri dengan berkumpul di suatu tempat untuk bersilaturrahmi,
diiringi dengan lantunan lagu-lagu yang Islami, atau anasyid-anasyid
yang mengagungkan asma Allah dan bulan ramadlan atau yang lainnya. Dan
nampaknya hal serupa pun pernah dilakukan oleh para sahabat di masa
nabi Muhammad saw masih hidup. Kita sebut saja satu hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik, bahwa suatu ketika Abu Bakar RA
tengah berlebaran ke rumah rasulullah saw, namun tiba-tiba sesampainya
ia ke rumah rasulullah, ia menjumpai putrinya yang tidak lain ialah
Aisyah (istri Nabi) sedang bernyanyi menggunakan alat rebana (dufuf)
bersama dua orang budak wanita. Melihat hal tersebut, secara kasar Abu
Bakar, memarahi mereka seraya berkata,”A-Mizmaaru as-Syaithan fi baiti
rasulillah” “Bagaimana bisa koq seruling syeitan ada di rumah
rasulullah?”. Sang baginda rasulullah saw yang tengah tidur-tiduran di
kamar, ketika mendengar suara keras dari Abu Bakar, langsung terbangun,
lalu beliau berkata,” Da’hunna ya Aba Bakrin, Liya’lamu anna fi diiniya
fushah, wa inni bu’itstu bil hanafiyati as-samhah” yang artrinya:
“Wahai Abu Bakar!, biarkanlah mereka bernyanyi dan bergembira, agar
semua orang tahu bahwa dalam agama kita juga terdapat kemudahan, dan
sesungguhnya aku diutus dengan ajaran yang penuh kemudahan” . Atau saya
mengartikannya, Islam adalah agama yang rileks.
Bahkan
dalam sebagian riwayat dinyatakan pula, bahwa pada hari idul fitri ini
pernah para pemeluk Islam yang berasal dari Habasyah atau Ethiopia
sekarang ini, ketika mereka berada di Madinah bersama rosulullah,
melakukan pagelaran tarian suku di dalam masjid nabawi, dan banyak dari
para sahabat juga rosulullah saw hadir memberikan semangat bagi mereka
yang tengah meluapkan kegembiraan pada hari kemenangan ini.
Dari
peristiwa di atas, tentunya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Idul
fitri adalah hari dimana kita diperbolehkan untuk berbagi kebahagiaan
kepada sesama kita, berbagi kebahagiaan ini tentunya juga harus
melibatkan orang-orang yang selama ini dianggap kurang beruntung secara
ekonomi sehingga mereka juga dapat merasakan kebahagiaan tersebut.
Kemudian mediasi dalam meluapkan kebahagiaan ini juga bisa dilengkapi
dengan menampilkan kreasi seni musik yang Islami dan tentunya sesuai
dengan suasana religiusitas Idul fitri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar